Sabtu, 23 Agustus 2014

REAL COUNT VS QUICK COUNT




Quick Count vs Real Count 
Yang mana benar, Quick Count (QC) yang dilakukan oleh lembaga survei (LS) atau hasil Real Count (RC) yang akan dilakukan oleh KPU. Seyogyanya, keduanya benar dan sama hasil perhitungannya terhadap pemungutan suara dalam Pilpres 2014. Hanya saja untuk mencocokkannya harus menunggu sampai tanggal 22 Juli, karena KPU memerlukan waktu untuk melakukan perhitungan. Ini opsi pertama yang kemungkinan terjadi, yang tampak paling sederhana dan tinggal menunggu waktu.

Hanya saja masalahnya menjadi lain karena hasil QC dari berbagai lembaga survei (LS) menunjukan perbedaan. Selayaknya,  tidak ada perbedaan signifikan hasil antara berbagai LS, jika semua LS itu taat pada asas ilmiah metode penelitian, dan mampu mengesampingkan keberpihakan pada salah satu capres.
Kenyataannya, LS menunjukkan dua hasil yang berbeda dalam perhitungan suara Pilpres. Sekelompok LS memenangkan Nomor 2, sementara itu beberapa LS mengunggulkan Nomor 1. Masyarakat menjadi bingung. Yang mana yang benar,  LS kubu 1 atau kubu 2. Dan terjadilah debat antara kedua kubu LS. Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSOPI) mau melakukan audit dan investigasi untuk menilai LS yang mana yang bermasalah. Ini dapat menjadi opsi kedua dalam konteks penyelesaian mencari LS yang benar.
Timbul lagi masalah lain. Berdasarkan hasil QC itu, tanggal 9 Juli sore, kedua Capres menyatakan dirinya sebagai pemenang berdasarkan QC LS yang memenangkannya. Kalau PERSEPSI menyatakan LS yang benar adalah kubu 1, apakah Capres 2 bersedia menerimanya; atau sebaliknya. Ini kemungkinan atau opsi ke tiga yang dapat terjadi, yang perlu diantisipasi solusinya.
Demikian pula yang akan terjadi kalau kebenaran itu didasarkan hasil RC KPU. Sementara ini, masing-masing kubu Capres melakukan semacam RC dalam bentuk Perhitungan Tabulasi Nasional berdasarkan TPS. Kalau RC KPU menyatakan Nomor 2 yang menang, apakah Capres Nomor 1 mau menerimanya, jika hasil RC Capres Nomor 1 yang dilakukannya menunjukkan bahwa Nomor 1 yang menang. Ini alternatif ke empat yang mungkin terjadi.
Siapa terpercaya benar
Kunci masalahnya adalah telah terjadi saling tidak percaya antara kedua tim sukses, kedua kubu LS, dan pihak KPU. Mestinya hanya satu terpecaya paling benar. Keempat opsi diatas tampaknya tidak bisa menuntaskan masalah siapa yang paling benar.
Kepercayaan pertama diberikan kepada Ilmu Statistik yang dipergunakan oleh semua LS yang meyakinkan kebenaran ilmiah hasil perhitungan QC. Hanya saja Statitik itu adalah ilmu probabilitas yang tetap memberikan peluang untuk terjadinya kesalahan (error). Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muthadi mengatakan bahwa tetap ada peluang kesalahan (Fajar, 11 Juli 2014). Karena  itu, kepercayaan kepada LS adalah sah-sah saja, tetapi tidak harus berlebihan (over- confidence) atau langsung yakin 100 persen.
Kemungkinan kepercayaan kedua dilimpahkan ke KPU dengan keyakinan bahwa RC KPU memang mutlak kebenarannya. Tetapi, apakah semua pihak akan menerima hasil KPU? Apakah hasil KPU memang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya? Kedua kubu Capres bersama-sama mengatakan bahwa mari kita mengawal KPU sehingga mampu melakukan proses  perhitungan dengan benar tanpa kesalahan dan bebas intervensi dari pihak manapun. Lalu bagaimana kalau ada satu kubu yang merasa bahwa hasil RC KPU itu masih belum benar sepenuhnya.
Lembaga survei berani bertaruh kebenaran hasil surveinya masing-masing. Kepala Riset Populi Center,  Nico Haryanto menyatakan kalau hasil LS meleset jauh dari hasil hitungan manual KPU, justru data KPU itu yang perlu dipertanyakan validitasnya.
Mungkin alternatif kepercayaan lainnya dapat diberikan kepada suatu gold standard. Dalam analisis statitik diperlukan suatu standard emas sebagai pembanding kebenaran tertinggi. Gold standard ini semacam nilai objektif duniawi yang paling tinggi. Hanya saja dalam Pilpres 2014 ini tidak ada data yang bisa dipakai sebagai gold standard. Hasil KPU tidak dapat dipakai sebagai gold standard. Kepercayaan masyarakat dan semua pihak terkait Pilpres belum penuh terhadap KPU. Bahkan, pihak KPK mengingatkan agar KPU maupun Bawaslu tidak kongkalikong dengan peserta pemilihan  presiden (Fajar, 12 Juli 2014).
Perhitungan KPU
KPU yang berhak menentukan pemenang Pilpres, berdasarkan hasil perhitungan suara nyata  dari seluruh TPS dalam dan luar negeri. Karena itu, pada hari penentuan hasil perhitungan suara nanti akan terjadi dua kemungkinan yang terjadi antara QC Lembaga Survei dengan RC KPU.
Pertama, KPU menyatakan Capres 1 menang, dan sesuai dengan QC LS Kubu 1, tetapi tidak sesuai dengan QC LS Kubu 2. Kemungkinan kedua, KPU menyatakan Capres 2 menang,  dan sesuai dengan QC LS Kubu 2, tetapi bertentangan  dengan QC LS Nomor 1. Artinya, siapapun yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, akan memberikan dampak negatif ke salah satu kubu LS dan sekaligus dengan Capresnya. Keadaan ini tidak bisa dihindarkan, karena sudah terlanjur kedua belah pihak Capres dan LS menyatakan kemenangannya masing-masing. Walaupun himbauan untuk mengawal proses perhitungan KPU berhasil, kemungkinan kekecewaan pihak kalah akan tetap dapat terjadi.
            Kemungkinan selanjutnya, pihak yang dirugikan akan melakukan banding ke MK.
Inilah bentuk gold standard yang tersedia berupa supremasi hukum yang dimiliki oleh Mahkamah Konsitusi. Kemungkinan inilah yang dapat menjadi ujung penyelesaian berbagai opsi yang terjadi.
Sayangnya, kalau ini terjadi maka pada tanggal 22 Juli rakyat Indonesia belum bisa memastikan presiden terpilih. Akan ada dua kemungkinan terjadi, MK menerima gugatan pihak  penggugat yang kalah, atau mengesahkan kemenangan Capres yang menang QC LS dan RC KPU. Setelah itu,  slogan Pemilu: Siap Menang Siap Kalah harus diterapkan.
Akhirnya, keputusan MK masih harus dilengkapi dengan kepercayaan kepada God standard (Kebenaran Ilahi). Nilai kebenaran absolut mutlak ada di tangan Yang Maha Mengetahui kebenaran data pilpres itu. Haqqul yakiin!