Minggu, 31 Juli 2011

Amir Bossa, Maestro Sepak Raga

Selengkapnya kutipan dari Harian Fajar, Minggu, 31 Juli 2011:

Minggu, 31 Juli 2011 | 00:49:51 WITA | 5 HITS
Seniman Pa'raga Sulsel, Amir Bossa
Bola Rotan Jadi Saksi Penderitaan
Laporan : AMRULLAH, MAKASSAR
Yusran/Fajar
SAKIT. Seniman Pa’raga Sulsel, Amir Bossa, terbaring di ruangan 1,5 meter kali 2 meter di Bulogading. Belum ada perhatian pemerintah terhadap kondisi seniman yang selalu mengharumkan dan memperkenalkan warisan budaya nusantara di luar negeri ini.





SEPAK Raga merupakan kesenian khas Sulsel. Seni ini memadukan unsur gerakan silat. Salah satu seniman senior Pa'raga di Sulsel adalah Amir Bossa.

AMIR Bossa lahir di Makassar, 48 tahun silam. Dia menekuni seni pa'raga sejak masih kecil. Di usia 13 tahun dia mulai memperdalam kesenian ini. Awalnya dia tergabung dalam komunitas Pa'raga di Benteng Rotterdam. Ada beberapa guru pa'raga yang sempat didatanginya.

Seperti almarhum H Sido. Juga, almarhum Tarawe Dg Nai yang tidak lain merupakan murid langsung dari H Sido. Dia pun bergabung di dalam sebuah kelompok pa'raga yang berada di Benteng Rotterdam. Dari sinilah kariernya sebagai seniman pa'raga mulai terasah. Dari satu kompetisi ke kompetisi hingga dari acara pengantin hingga acara peresmian pembangunan dia diberi kepercayaan untuk menunjukkan kebolehannya.

Kala itu, nilai-nilai seni yang dipertontonkannya hanya dihargai Rp10. Bahkan, tampil di sebuah acara bersama rekan-rekannya, dia rela untuk berjalan kaki. "Dulu kalau mau tampil cuman jalan kaki. Sekarang sudah ada kendaraan, mobil atau lainnya," beber Amir Bossa, saat ditemui di kediaman saudaranya di Jalan Bulogading, Somba Opu, Jumat, 29 Juli.

Tetapi itu tidak melunturkan kesetiaannya terhadap seni sepak raga bola anyaman rotan ini. Bayaran kecil bukan jaminan dirinya harus meninggalkan seni pa'raga untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Hingga akhirnya buah kesabarannya yang cukup manis dipetiknya. Tahun 1995 dirinya diundang bersama beberapa seniman dari bidang seni lainnya ke luar negeri.

Mereka diminta tampil di empat kota di Jepang dan Malaysia. "Waktu itu hanya satu pa'raga yang dipanggil. Saya yang dipilih. Saya pikir itu hanya keberuntungan," paparnya agak sedikit merendah.

Keberuntungan? Jawabannya, tentu tidak. Pasalnya, beberapa tahun kemudian dia kembali diundang ke Belanda dan Afrika Selatan. Selama beberapa hari dia tampil di negara-negara tersebut. Penampilannya bersama seniman lainnya cukup memukau. Kesenian Sulsel semakin terkenal karenanya.

Gerakan-gerakan berbahaya menjadi tontonan menarik. Masyarakat di negara-negara tersebut dibuat terpesona. Maklum, seni pa'raga tidak hanya sekadar kebolehan mengolah bola anyaman rotan, tetapi, juga mengandung unsur lainnya. Seperti, pencak silat. Saat beraksi mereka meloncat, menendang bola sambil membenturkan diri ke tanah dengan keras hingga beradu kebolehan silat dengan sesama seniman pa'raga lainnya.

Beberapa teknik pa'raga biasa disebut tepo tahiyat, tepo kalomping, tepo bersila, tepo riallaka, atau tepo cungkit. "Di situlah seninya pa'raga. Tapi, sekarang tekni-teknik tepo ini sudah mulai tidak pertontonkan. Ya, karena membahayakan diri sendiri. Paling ada kalau di acara-acara resmi kerajaan, atau pengantin. Masih ada yang mempertontonkannya," tandasnya.

Dahsyatnya gerakan-gerakan tepo (patahan) tersebut memang cukup berbahaya. "Lihat saja kondisi saya sekarang. Saya didiagnosa dokter terkena saraf tulang. Mungkin ini imbas dari yang saya lakukan sejak dulu. Semua ini untuk seni pa'raga. Saya tidak sedih. Ini tiga buah bola (yang menggantung) teman setia saya," tandasnya.

Kondisi Amir Bossa, memang tidak seperti dulu lagi. Sudah setahun lebih dirinya terbaring di tempat tidur. Kaki kirinya sudah sulit digerakkan. Lebih memprihatinkan lagi, dia tinggal di sebuah kamar di bawah rumah panggung keponakannya. Ukuran 1,5 meter kali 2,5 meter. Sangat sempit. Ventilasi udara pun tidak ada. Pengap dan lembab.

Kehidupan Amir memang sangat memilukan. Selain tidak memiliki rumah tinggal pribadi, dia juga belum memiliki pendamping hidup. Karena itu, selama sakit dia hanya dirawat ala kadarnya oleh sang keponakan.

"Kami harap pemerintah untuk memperhatikan nasib-nasib seniman. Jangan di kala mereka sehat baru dicari. Tapi, kalau lagi sakit, ya, diperhatikan juga lah," ungkapnya dengan nada sedih.

Kesedihan Amir sangat wajar. Dia butuh bantuan untuk membiayai pengobatannya. Perkataan yang terlontar dari mulutnya memang patut dimaklumi. Dirinya telah mengharumkan dan memperkenalkan warisan budaya nusantara asal Sulsel di beberapa negara di belahan dunia.

"Memang ada obat, tapi harganya mahal. Semasa sehat beliau sangat memperhatikan kami. Kami harus membalas kebaikannya. Kotorannya, ya kami bersihkan. Beliau sudah sulit untuk berjalan. Kami harap pemerintah bisa memperhatikan beliau seperti dulu di kala sehat," terang, salah seorang keluargnya," kata Nufreni.

Perhatian pemerintah terhadap kondisi seniman yang sakit memang masih kurang. Perhatian pemerintah masih sebatas bagaimana memperhatikan warisan budaya nusantara. Amir Bossa dapat dikatakan satu dari sekian seniman yang merasakannya. Teman setianya hanya berupa bola anyaman rotan yang membisu seakan menahan kesedihan sang seniman Pa'raga ini. (*)

Sabtu, 30 Juli 2011

SEPAK RAGA, AMIR BOSSA DAN FORMETRIC

          Bola rotan jadi saksi penderitaan, demikian Fajar menulis di halaman pertama, Minggu 31 Juli 2011. Laporan wartawan Fajar mengetengahkan nasib maestro bola raga Amir Bossa yang sementara dalam penderitaan: sakit, tersendiri dan tidak terpedulikan.
Amir Bossa menyatakan: " Saya didiagnosa dokter terkena saraf tulang. Mungkin ini imbas dari yang saya lakukan sejak dulu. Semua ini untuk seni pa"raga.  ....... "
          Seorang atlet, termasuk pemain sepak raga, haruslah sehat semasa bermain dan setelah masa bermain/memasuki usia tua. Masa atletnya sudah pasti sehat, namun karena olahraga yang tidak sesuai atau berlebihan bisa memberikan imbas yang nanti dapat diketahui dan dirasakan setelah tua.
Tampaknya inilah yang terjadi pada diri Amir Bossa. Semangatnya semasa jaya bermain raga melupakan dirinya untuk memelihara dan memeriksa kesehatan tubuhnya sehingga tidak terganggu atau sakit di hari tua.
              Pembelajaran yang bisa diperoleh dari kehidupan Amir Bossa ini  terkait dengan suatu alat diagnose baru di FIK UNM Makassar, berupa alat yang disebut FORMETRIC. Alat ini dapat memberikan diagnose dini dan tepat tentang struktur dan postur tubuh manusia dengan menampakkkan gambar empat dimensi dari struktur tulang belakang (columna vertebralis). Bagi atlet yang berisiko gangguan tulang belakang karena olahraga prestasi yang ditekuninya, selayaknya melakukan pemeriksaan Formetric. Semoga.
(mnb31072011)