Quick Count vs Real Count
Yang
mana benar, Quick Count (QC) yang dilakukan oleh lembaga survei (LS) atau hasil
Real Count (RC) yang akan dilakukan oleh KPU. Seyogyanya, keduanya benar dan
sama hasil perhitungannya terhadap pemungutan suara dalam Pilpres 2014. Hanya
saja untuk mencocokkannya harus menunggu sampai tanggal 22 Juli, karena KPU memerlukan
waktu untuk melakukan perhitungan. Ini opsi pertama yang kemungkinan terjadi,
yang tampak paling sederhana dan tinggal menunggu waktu.
Hanya
saja masalahnya menjadi lain karena hasil QC dari berbagai lembaga survei (LS)
menunjukan perbedaan. Selayaknya, tidak
ada perbedaan signifikan hasil antara berbagai LS, jika semua LS itu taat pada
asas ilmiah metode penelitian, dan mampu mengesampingkan keberpihakan pada
salah satu capres.
Kenyataannya,
LS menunjukkan dua hasil yang berbeda dalam perhitungan suara Pilpres.
Sekelompok LS memenangkan Nomor 2, sementara itu beberapa LS mengunggulkan Nomor
1. Masyarakat menjadi bingung. Yang mana yang benar, LS kubu 1 atau kubu 2. Dan terjadilah debat
antara kedua kubu LS. Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSOPI) mau
melakukan audit dan investigasi untuk menilai LS yang mana yang bermasalah. Ini
dapat menjadi opsi kedua dalam konteks penyelesaian mencari LS yang benar.
Timbul
lagi masalah lain. Berdasarkan hasil QC itu, tanggal 9 Juli sore, kedua Capres
menyatakan dirinya sebagai pemenang berdasarkan QC LS yang memenangkannya.
Kalau PERSEPSI menyatakan LS yang benar adalah kubu 1, apakah Capres 2 bersedia
menerimanya; atau sebaliknya. Ini kemungkinan atau opsi ke tiga yang dapat
terjadi, yang perlu diantisipasi solusinya.
Demikian
pula yang akan terjadi kalau kebenaran itu didasarkan hasil RC KPU. Sementara
ini, masing-masing kubu Capres melakukan semacam RC dalam bentuk Perhitungan
Tabulasi Nasional berdasarkan TPS. Kalau RC KPU menyatakan Nomor 2 yang menang,
apakah Capres Nomor 1 mau menerimanya, jika hasil RC Capres Nomor 1 yang
dilakukannya menunjukkan bahwa Nomor 1 yang menang. Ini alternatif ke empat
yang mungkin terjadi.
Siapa
terpercaya benar
Kunci
masalahnya adalah telah terjadi saling tidak percaya antara kedua tim sukses,
kedua kubu LS, dan pihak KPU. Mestinya hanya satu terpecaya paling benar.
Keempat opsi diatas tampaknya tidak bisa menuntaskan masalah siapa yang paling
benar.
Kepercayaan
pertama diberikan kepada Ilmu Statistik yang dipergunakan oleh semua LS yang meyakinkan
kebenaran ilmiah hasil perhitungan QC. Hanya saja Statitik itu adalah ilmu
probabilitas yang tetap memberikan peluang untuk terjadinya kesalahan (error).
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muthadi
mengatakan bahwa tetap ada peluang kesalahan (Fajar, 11 Juli 2014). Karena itu, kepercayaan kepada LS adalah sah-sah
saja, tetapi tidak harus berlebihan (over- confidence) atau langsung
yakin 100 persen.
Kemungkinan
kepercayaan kedua dilimpahkan ke KPU dengan keyakinan bahwa RC KPU memang
mutlak kebenarannya. Tetapi, apakah semua pihak akan menerima hasil KPU? Apakah
hasil KPU memang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya? Kedua
kubu Capres bersama-sama mengatakan bahwa mari kita mengawal KPU sehingga mampu
melakukan proses perhitungan dengan
benar tanpa kesalahan dan bebas intervensi dari pihak manapun. Lalu bagaimana
kalau ada satu kubu yang merasa bahwa hasil RC KPU itu masih belum benar
sepenuhnya.
Lembaga
survei berani bertaruh kebenaran hasil surveinya masing-masing. Kepala Riset
Populi Center, Nico Haryanto menyatakan
kalau hasil LS meleset jauh dari hasil hitungan manual KPU, justru data KPU itu
yang perlu dipertanyakan validitasnya.
Mungkin
alternatif kepercayaan lainnya dapat diberikan kepada suatu gold standard.
Dalam analisis statitik diperlukan suatu standard emas sebagai pembanding
kebenaran tertinggi. Gold standard ini semacam nilai objektif duniawi yang paling
tinggi. Hanya saja dalam Pilpres 2014 ini tidak ada data yang bisa dipakai
sebagai gold standard. Hasil KPU tidak dapat dipakai sebagai gold standard.
Kepercayaan masyarakat dan semua pihak terkait Pilpres belum penuh terhadap
KPU. Bahkan, pihak KPK mengingatkan agar KPU maupun Bawaslu tidak kongkalikong
dengan peserta pemilihan presiden (Fajar,
12 Juli 2014).
Perhitungan
KPU
KPU
yang berhak menentukan pemenang Pilpres, berdasarkan hasil perhitungan suara
nyata dari seluruh TPS dalam dan luar
negeri. Karena itu, pada hari penentuan hasil perhitungan suara nanti akan
terjadi dua kemungkinan yang terjadi antara QC Lembaga Survei dengan RC KPU.
Pertama,
KPU menyatakan Capres 1 menang, dan sesuai dengan QC LS Kubu 1, tetapi tidak
sesuai dengan QC LS Kubu 2. Kemungkinan kedua, KPU menyatakan Capres 2
menang, dan sesuai dengan QC LS Kubu 2,
tetapi bertentangan dengan QC LS Nomor
1. Artinya, siapapun yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, akan memberikan
dampak negatif ke salah satu kubu LS dan sekaligus dengan Capresnya. Keadaan
ini tidak bisa dihindarkan, karena sudah terlanjur kedua belah pihak Capres dan
LS menyatakan kemenangannya masing-masing. Walaupun himbauan untuk mengawal
proses perhitungan KPU berhasil, kemungkinan kekecewaan pihak kalah akan tetap
dapat terjadi.
Kemungkinan selanjutnya, pihak yang
dirugikan akan melakukan banding ke MK.
Inilah
bentuk gold standard yang tersedia berupa supremasi hukum yang dimiliki oleh
Mahkamah Konsitusi. Kemungkinan inilah yang dapat menjadi ujung penyelesaian
berbagai opsi yang terjadi.
Sayangnya,
kalau ini terjadi maka pada tanggal 22 Juli rakyat Indonesia belum bisa
memastikan presiden terpilih. Akan ada dua kemungkinan terjadi, MK menerima
gugatan pihak penggugat yang kalah, atau
mengesahkan kemenangan Capres yang menang QC LS dan RC KPU. Setelah itu, slogan Pemilu: Siap Menang Siap Kalah harus
diterapkan.
Akhirnya,
keputusan MK masih harus dilengkapi dengan kepercayaan kepada God standard
(Kebenaran Ilahi). Nilai kebenaran absolut mutlak ada di tangan Yang Maha
Mengetahui kebenaran data pilpres itu. Haqqul yakiin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar